Ada yg bertanya padaku, apa hukumnya nikah beda agama? Wah, ditodong seperti ini, aku agak kelabakan juga…karena aku sendiri belum menikah malah ditanya ttg nikah, xixixi.. Malahan ada beberapa orang teman juga curhat ttg rencana pernikahan mereka, aku hanya bisa memberi ‘teori’ saja…idealnya, karena aku sendiri belum berpengalaman. Tapi, didasar karena niat menolong mereka, aku perbanyak baca referensi2 ttg pernikahan, kehidupan rumah tangga, dst…minimal sudah tahu teori, tinggal mempraktekkannya…insya ALLOH
Baik, kembali ke topik. Menikah beda agama…hmmm…dari yg pernah aku pelajari, di Islam ada 2 jenis menikah beda agama:
1. Laki-laki beragama Islam menikah dg perempuan non-Islam
2. Perempuan beragama Islam menikah dg laki-laki non-Islam
Masih dari pemahaman yg pernah aku dapat, untuk poin 1, hukumnya adalah MAKRUH. Sedangkan untuk poin 2, hukumnya jelas-jelas DILARANG (HARAM). Baik…untuk lebih mantapnya, aku buka referensi2, diantaranya Fikh Sunnah karya Sayid Sabiq dan Tanya Jawab Agama dari tim PP Muhammadiyah.
Dari kedua buku referensi ini, aku dapati bahwa pemahamanku tidak salah.
Aku mulai dari poin 2.
Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dg laki2 non Islam adalah Al Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Jadi, bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dg laki2 non Islam, maka akan dianggap berzina.
Pada kesempatan ini, aku hanya akan membahas lebih detil poin 1.
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
1. Lelaki Muslim dg perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya BOLEH, dengan dasar Al Maidah(5):5,“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg MELARANG, dengan dasar Al Baqarah(2):222,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud dg musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2, menikah dg perempuan NON AHLI KITAB, para ulama sepakat MELARANG.
Dari sebuah literatur, aku dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat.
Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak twermasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Secara ringkas bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya.
Dari sebuah referensi, aku dapatkan keterangan bahwa Ulama Yusuf Al-Qardlawi berpendapat tentang BOLEHNYA seorang lelaki Muslim menikah dengan perempuan Kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa SYARAT yang WAJIB untuk diperhatikan, yaitu:
(1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran SAMAWI. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama SAMAWI;
(2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina);
(3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini;
(4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, “La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan).
Namun mesti diperhatikan, bahwa ada beberapa keburukan yang akan terjadi manakala seorang lelaki Muslim menikah dengan wanita non-Muslim:
(1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami;
(2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan
(3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan perempuan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya. Misalnya, seorang lelaki Muslim Timur kawin dengan perempuan Kitabiyah Eropa atau Amerika.
Sedangkan dalam Al Quran dan tafsirnya, tim penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa, “Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya”.
Aku pribadi berpendapat, apabila seorang lelaki Muslim hendak menikahi perempuan Kitabiyah, SEBAIKNYA dia sudah mempunyai dasar dan pemahaman agama Islam yg baik. Karena tugas dia, menurutku, akan cukup berat…dia mesti ‘menghandle’ istri dan anaknya dalam ilmu agama. Jika tidak cukup ‘kuat’, bahkan lemah, ini akan berbahaya bagi kelangsungan hidup rumah tangganya.
Bagi yg sudah siap menikah, mudah-mudahan artikel ini bermanfaat. Semoga pernikahannya langgeng…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar